Sekilas Sutta (Bag. Anguttara Nikaya): Empat jenis kebahagiaan yang dapat kita capai


Empat Jenis Kebahagiaan bagi Perumah Tangga



“Perumah tangga, ada empat jenis kebahagiaan ini yang dapat dicapai oleh seorang umat awam yang menikmati kenikmatan indria, bergantung pada waktu dan situasinya. Apakah empat ini? Kebahagiaan memiliki, kebahagiaan menikmati, kebahagiaan bebas dari hutang, dan kebahagiaan ketanpacelaan..."
Sutta 62 (2), Catuka Nipata, Anguttara Nikaya
__________________________________________________________________________________

Tulisan di atas adalah kotbah Buddha kepada seorang perumah tangga bernama Anathapindika,  kemudian ditulis dalam Anguttara Nikaya Sutta. Dapat dilihat dari kutipan tersebut membahas tentang kebahagiaan yang dapat dicapai oleh seorang perumah tangga, yaitu kebahagiaan karena materi. Kebahagiaan yang seperti itu hanya berlangsung pada waktu dan situasi tertentu. Meskipun begitu, sepatutnya kita bersyukur jika dapat mencapai kebahagiaan-kebahagiaan tersebut, karena banyak hal di dunia ini yang membuat penderitaan. Kadar penderitaan memang lebih banyak  daripada kadar kebahagiaan, begitulah yang terjadi jika kita hidup sebagai manusia yang belum mencapai kebahagiaan tertinggi(Nibbana).
Oke, kita tidak perlu membicarakan tentang kebahagiaan tertinggi, karena hal tersebut berada di luar jangkauan kita saat ini. Kita bicara tentang kebahagiaan yang dapat kita capai sebagai seorang manusia awam, terutama sebagai seorang perumah tangga. Nah, kebahagiaan apakah itu? Kebahagiaan memiliki, kebahagiaan menikmati, kebahagiaan bebas dari hutang, dan kebahagiaan ketanpacelaan.

Kebahagiaan 'memiliki'
Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan memiliki? Hal ini dijelaskan oleh Buddha seperti kutipan berikut:
(1) “.... Di sini, seorang anggota keluarga telah memperoleh kekayaan melalui usaha penuh semangat, yang dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, yang didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan cara yang benar. Ketika ia berpikir, ‘Aku telah memperoleh kekayaan melalui usaha penuh semangat … yang diperoleh dengan cara yang benar,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan memiliki."
Jadi, yang dimaksud dengan kebahagiaan memiliki adalah kebahagiaan karena dapat memiliki harta kekayaan atau materi yang diperoleh dari penghidupan yang benar, dengan cara-cara yang baik, semangat, dan kerja keras. Oleh karena kekayaan tersebut diperoleh dengan cara yang baik, seseorang merasa puas. Ia merasa tenang, dan tidak takut karena ia tidak melakukan hal yang salah atau buruk yang merugikan makhluk lain ketika ia mencari penghidupan. Dalam hal perdagangan ada lima hal yang sepatutnya dihindari oleh umat awam, seperti dalam kotbah Buddha berikut:
“Para Bhikkhu, seorang umat awam seharusnya tidak terlibat dalam kelima jenis perdagangan ini. Apakah lima ini? Berdagang senjata, berdagang makhluk-makhluk hidup, berdagang daging, berdagang minuman memabukkan, dan berdagang racun. seorang umat awam seharusnya tidak terlibat dalam kelima jenis perdagangan ini.”

Kebahagiaan 'menikmati'
Kebahagiaan berikutnya adalah kebahagiaan menikmati. Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan menikmati? Berikut adalah yang dimaksud dengan kebahagiaan menikmati sesuai dengan kotbah Buddha kepada Anathapindika:
(2) “Dan apakah kebahagiaan menikmati? Di sini, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat itu, yang dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, yang didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan cara yang benar, seorang anggota keluarga menikmati kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Ketika ia berpikir, ‘Dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat ini … yang diperoleh dengan cara yang benar, aku menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan menikmati."
Jadi, yang dimaksud dengan kebahagiaan menikmati adalah kebahagiaan karena menikmati harta kekayaan yang dimiliki dari usaha yang benar. Menikmati harta kekayaan dengan cara menggunakannya untuk hal-hal yang baik, kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan. Ia puas dapat menikmati kekayaan dari hasil usaha yang benar. Kemudian ia tidak hanya menikmati untuk diri sendiri, tetapi juga berbagi nikmatnya harta tersebut dengan cara mendanakannya kepada yang membutuhkan, misalnya kepada yang tidak mampu atau berdana kepada Bhikkhu Sangha. 

Kebahagiaan 'tanpa hutang'
Selain itu, ada kebahagiaan yang dapat dicapai oleh seorang perumah tangga, yaitu kebahagiaan tanpa hutang. Inilah penjelasan mengenai kebahagiaan tanpa hutang yang dikatakan oleh Buddha:
(3) “Dan apakah kebahagiaan bebas dari hutang? Di sini, seorang anggota keluarga tidak memiliki hutang pada siapa pun, apakah banyak atau sedikit. Ketika ia berpikir, ‘Aku tidak memiliki hutang pada siapa pun, apakah banyak atau sedikit,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan bebas dari hutang."
Sudah cukup jelas, bahwa kebahagiaan tanpa hutang adalah kebahagiaan karena tidak mempunyai hutang kepada siapapun, banyak atau sedikit. Oleh karena tidak memiliki hutang, maka tidak ada beban untuk melunasi atau dibayang-bayangi oleh orang yang meminjamkan uang. Jika tidak ada beban, maka hidup terasa ringan. Dengan begitu, seseorang bersyukur karena masih berkecukupan memenuhi kebutuhan hidup dengan kekayaan yang diperoleh sendiri melalui usaha yang benar. Setelah bersyukur karena hal tersebut, seseorang akan mengalami kebahagiaan.

Kebahagiaan 'tanpa cela'
Kebahagiaan selanjutnya adalah kebahagiaan tanpa cela.
(4) “Dan apakah kebahagiaan ketanpacelaan? Di sini, perumah tangga, seorang siswa mulia memiliki perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela. [70] Ketika ia berpikir, ‘Aku memiliki perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan ketanpacelaan."
Nah, selain kebahagiaan yang berkaitan dengan materi, ada kebahagiaan yang berkaitan dengan moralitas seseorang. Inilah yang disebut dengan kebahagiaan tanpa cela, seseorang memiliki perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela, seseorang menjaga moralitasnya. Oleh karena menjalankan latihan moral dengan baik dan taat, ucapan dan perbuatannya didasari oleh pikiran yang baik, sehingga tiada celah bagi orang lain untuk mencelanya. Hal ini yang membuat orang tersebut berbahagia, bersyukur karena dapat berbuat, berucap atas dasar pikiran yang baik dan benar. 

Lalu apa yang dapat dipetik atau diterapkan dalam lingkup pendidikan? Bahwa, penanaman nilai-nilai seperti kejujuran, kedermawanan, semangat, kerja keras, bersyukur, dsb. sepatutnya diajarkan dan diterapkan di sekolah. Tidak hanya melalui pendidikan agama, bisa juga melalui praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari misalnya, melatih kejujuran dengan fasilitas kantin kejujuran, bakti sosial untuk mengembangkan rasa bersyukur, kedermawanan, dan kerja keras, dll. Nilai-nilai tersebut yang diperlukan seseorang di dunia pekerjaan, karena tujuan pendidikan pada ujungnya menghasilkan lulusan yang mampu mendongkrak kualitas hidupnya melalui pekerjaan yang lebih layak. Dengan begitu, seseorang dapat merasakan kebahagiaan-kebahagiaan seperti yang telah dijelaskan di atas. 

Sumber bacaan:
Anguttara Nikaya- Catukka Nipata 62

Posting Komentar

0 Komentar